Oleh Dr. Socratez S. Yoman |
1. Pendahuluan
Kita harus akui dengan jujur,
bahwa pendudukan dan penjajahan/kolonialisme Indonesia di West Papua merupakan
kejahatan politik, kejahatan kemanusiaan, kejahatan ketidakadilan, karena
itu, Pendudukan dan Penjajahan Indonesia di West Papua ialah Ilegal.
Tidak ada legitimasi rakyat dan
bangsa West Papua. Yang ada adalah legitimasi kekerasan, kejahatan, kekejaman,
kelaliman dengan moncong senjata
Saya sangat berterima kasih
kepada Sejarawan dari UI, Rushdy Hoesein meyakinkan saya, bahwa selama
ini, saya bergelut dalam menulis sejarah bangsa West Papua, terutama
PEPERA 1969 yang cacat hukum dan moral itu. Pepera 1969 dimenangkan dan
dilegitimasi dengan kekerasan moncong senjata ABRI (kini: TNI).
Karena itu, Sejarawan
Indonesia menolak Penelitian tiga lembaga Belanda bertajuk 'Dekolonisasi,
kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950', menggunakan dana 4,1 juta Euro.
Penelitian yang dimulai pada September 2017.
"Saya dengan teman-teman
angkatan '45 menolak. Karena, borok itu mestinya dikompres biar adem. Tapi
kalau dicutik pakai lidi, bisa bengkak," kata sejarawan dari UI, Rushdy
Hoesein, saat berbincang dengan detikcom, Senin (18/9/2017).
Ada pula sumber lain: Riset
Perang Indonesia 1945-1950, Belanda Kucurkan 4,1 Juta Euro.
"Belanda adalah negara yang
punya banyak simpanan bukti-bukti sejarah Indonesia, ini bakal jadi senjata
utama saat berhadapan dengan peneliti Indonesia. Bila borok itu terus dikorek,
khawatirnya sejarah Indonesia bisa berubah, soalnya Indonesia kurang data bila
hendak mempertahankan sejarahnya."
"Kita memiliki data banyak
yang amburadul dan banyak hoax-nya. Tentu dalam penggarapan ini ya kita bisa
kalah. Dan bisa-bisa kita akan menerima data-data yang mereka (Belanda) miliki.
Akibatnya, sejarah Indonesia akan berubah."
Ini senjata ampuh bangsa
West Papua. BANGKITLAH!
2. PEPERA 1969 Cacat Hukum dan Cacat Moral
Sebagian besar rakyat Indonesia
belum tahu banyak proses pengganungan wilayah West Papua ke dalam wilayah
Indonesia. Proses pengintegrasian melalui proses yang kejam, brutal dan tidak
manusiawi.
Menurut Amiruddin al Rahab:
"Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan
militer." (Sumber: Heboh Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme,
2010: hal. 42).
Apa yang disampaikan Amiruddin
tidak berlebihan, ada fakta sejarah militer terlibat langsung dan berperan
utama dalam pelaksanaan PEPERA 1969. Duta Besar Gabon pada saat Sidang Umum PBB
pada 1989 mempertanyakan pada pertanyaan nomor 6: "Mengapa tidak ada perwakilan
rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?"
(Sumber: United Nations Official
Records: 1812th Plenary Meeting of the UN GA, agenda item 108, 20 November
1969, paragraf 11, hal.2).
"Pada 14 Juli 1969, PEPERA
dimulai dengan 175 Anggota Dewan Musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu
kelompok besar tentara Indonesia hadir..." (Sumber: Laporan Resmi
PBB Annex 1, paragraf 189-200).
Surat pimpinan militer berbunyi:
" Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan
mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun B/P-kan
baik dari AD maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman.
Referendum di Irian Barat (IRBA) tahun 1969 HARUS DIMENANGKAN, HARUS
DIMENANGKAN..."
(Sumber: Surat Telegram Resmi
Kol. Inf.Soepomo, Komando Daerah Daerah Militer Tjenderawasih Nomor:
TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD
No:TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: Menghadapi Refendum di IRBA (
Irian Barat) tahun 1969).
Militer Indonesia benar-benar
menimpahkan malapetaka bagi bangsa West Papua. Bahkan setelah
dimasukkan West Papua secara ilegal dan secara paksa ke dalam wilayah
Indonesia dan manusianya terus dibantai seperti hewan dan binatang buruan atas
nama keamanan nasional.
3. Militer Indonesia Menghancurkan Masa Depan Rakyat West Papua
Sejak 1961 sampai 2018 ini,
keluarga para militer Indonesia yang pernah bertugas di West Papua dan
bahkan yang sedang bertugas, mereka hidup gembira dan senang dan
menikmati hidup mereka. Tapi, sayang, mereka tidak tahu suami dan orang tua
mereka dengan moncong senjata pernah dan sedang menindas dan membantai
sesamanya atas nama keamanan nasional. Suami atau ayah mereka pernah menembak
mati orang-orang yang sama seperti mereka. Suami atau orang tua mereka
menciptakan malapetaka, meneteskan darah dan mencucurkan air mata orang Asli
West Papua dan tulang-belulang mereka sedang berserakkan dan menjadi saksi
bisu.
Tindakan yang tidak manusiawi dan
tidak beradab ini dilakukan ketika rakyat West Papua mempertahankn hak hidup
dan masa depan di atas tanah leluhur mereka. Mereka ditembak mati ketika
berjuang keadilan dan martabat demi perdamaian.
Hak politik rakyat dan bangsa
West Papua benar-benar dikhianati. Hak dasar dan hati nurani rakyat West Papua
dikorbankan dengan moncong senjata militer Indonesia.
4. Mayoritas 95% rakyat West Papua memilih merdeka
"...bahwa 95% orang-orang
Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua."
(Sumber: Pertemuan Rahasia Duta
Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz
Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman's report, July 18, 1969, in
NAA).
Duta Besar RI, Sudjarwo
Tjondronegoro mengakui: "Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju
tinggal dengan Indonesia."
(Sumber: UNGA Official Records
MM.ex 1, paragraf 126).
Dr. Fernando Ortiz Sanz
melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:
"Mayoritas orang Papua
menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran
mendirikan Negara Papua Merdeka." (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723,
paragraph 243, p.47).
Kita dengan jujur harus
membandingkan aspirasi politik bangsa West Papua setelah 49 tahun sejak
1969 sampai 2018. Karena kita tidak berada di tahun 1969.
5. Apakah keinginan 95% bangsa West Papua untuk merdeka pada 1969 itu sudah berkurang setelah 49 tahun?
Pertanyaan ini kita bertanya lagi
mengapa ada UU Otsus 2001? Otsus ada karena rakyat dan bangsa West Papua dari
Sorong-Merauke bangkit dan menyatakan merdeka lepas dari RI pada waktu terjadi
reformasi 1998.
Pada 5-7 Juli 2011 diadakan
Konferensi Perdamaian Papua dan perwakilan Kodam XVII Cenderawasih menjadi
pembicara. Sebelumnya, ada permintaan bahw kalau saya sebut Papua
saudara-saudara menyahut Damai. Pada saat pembicara sebut Papua semua
peserta balas: Merdeka...Merdeka...Merdeka....
Pada 10 Januari 2012 saya dengan
Pdt. Marthen Luther Wanma sosialisasi hasil pertemuan dengan Presiden SBY di
Cikeas pada 16 Desember 2011. Saya betanya kepada peserta yang memenuhi
ruang ibadah Gereja GKI Effata Manokwari. Siapa yang mau merdeka? Semua yang
memenuhi ruangan itu berdiri: Merdeka...Merdeka....Merdeka....Tapi yang tidak
berdiri adalah Sekda Manokwari dengan 2 orang PNS.
Pada 20 Januari 2012 pertemuan di
Sorong dengan tujuan yang sama utk sosialisasi hasil pertemuan dengan SBY. Saya
bertanya dengan pertanyaan yang sama seperti di Manokwari. Seluruh peserta yang
penuhi undangan berdiri dan berteriak: Merdeka..... Merdeka.....Merdeka....Tapi
yang tidak ikut berdiri adalah yang pak mewakili Dandrem Sorong dan pak
Kapolresta Sorong.
Pada 10 April 2018, saya hadir
sebagai salah satu nara sumber dalam Konferensi Gereja dan Masyarakat (KGM) di
Sorong, suara untuk Papua Merdeka itu terdengar dalam duskusi-diskusi. Di
panel kami, ada yang bediri dan menyatakan Merdeka adalah solusi terbaik.
Ada seorang teman sekolah saya di
SMP, seorang pribadi pendiam, kami berdua duduk karena baru ketemu. Pada sesi
tanya jawab, pak pendeta berdiri dan menyatakan:
"Jika kamu anggap kami beda
Ras, dengan kamu, tidak serius urus kami sebagai bagian anak bangsa RI,
beritahu kami, kami sudah mampu urus sendiri" (10/04/2018).
=======
Ita Wakhu Purom, Minggu, 06 Mei
2018; 21:31
0 $type={blogger}:
إرسال تعليق