Fokus diri sendiri.
Saya sangat berpengalaman berhadapan dengan orang-orang bermental lemah, terutama kalangan mahasiswa saya. Ah, pelekatan kata 'maha' pada siswa itu kerap kali terasa tak cocok. Saya paham isi dan jalan pikiran mereka, tetapi mereka sulit paham isi dan jalan pikiran saya. Diberitahu pun tak berpengaruh apa-apa, mereka sulit memperluas lapang pandangnya dalam menatap berbagai persoalan.
Saya berikan contohnya. X seorang mahasiswa yang sudah dapat lampu hijau dari saya selaku pembimbing utama untuk seminar proposal. Lalu masuk urusan penjadwalan. Saya katakan saya bisa menguji hari Kamis, sementara alokasi waktunya pagi pukul 9:00 WIB. Harap dia menyinkronkan jadwal dengan dua penguji lain. Lebih maju dari Kamis tak bisa, ketua penguji ada kedukaan keluarga di kota lain. Nah, Rabu malam, saya baru dapat konfirmasi dari panti narkoba, bahwa jadwal untuk saya menyampaikan materi komunikasi bagi penyintas narkoba adalah hari Kamis pukul 10.00 s/d 12:00 WIB.
Saya mengiyakan panti dan segera mengontak rekan ketua penguji dan pembimbing II untuk X, saya ngusul seminar proposal maju satu jam menjadi pukul 8:00 s/d 9:00 WIB. Mereka oke. Saya memberitahu X bahwa jadinya seminarnya maju satu jam, saya ada kegiatan pengabdian masyarakat di panti narkoba yang terletak di luar kota.
Apa respons X? "Nggak apa-apa aja ya, Bu, jadwal saya berubah begini? Gimana memberitahu penguji lain?" Saya yang sedang mengurus banyak hal untuk kegiatan pengabdian masyarakat itu, koordinasi tim dan mengatur teknis kegiatan dengan pihak manajemen panti, menjawab singkat, bahwa dia musti belajar melakukan konfirmasi perubahan jadwal dengan manis kepada dua orang pengujinya.
X fokus diri sendiri. Jauh dia mah dari dapat mengemas kalimat, "Ibu, terima kasih untuk konfirmasi perubahan jadwalnya. Ibu sibuk banget tetapi tetap bisa menguji saya sebelum deadline. Semoga lancar kegiatan Ibu di panti narkoba, seperti saya juga berupaya lancar presentasi hari Kamis pukul 8:00 WIB. Ibu A dan Ibu B sebagai penguji akan saya beritahu perubahan jadwal ini. Ruang ujian saya susulkan beritahu Ibu segera setelah saya tahu ya, Bu. Sekali lagi terima kasih untuk Ibu selalu baik pada saya."
Hari Kamis pukul 7:55 WIB, saya duluan masuk ruang tempat X ujian. X sudah duduk di kursi panasnya, saya menjabat tangannya, terasa dingin. X tampak tak tahu kedua pengujinya yang lain apakah sudah jelas terkonfirmasi jadwal ujian terkini. Ujian molor 8 menit. Presentasi X biasa saja, begitu juga tanya jawab, tak tampak dia menguasai topik penelitiannya. Dua penguji banyak mengajukan pertanyaan klarifikasi, saya memimpin ujian, mengatur agar tak molor banyak, pula bertanya singkat saja, gambaran kemampuannya sudah terlihat saja kok.
Selesai ujian X, saya bergegas, tersisa waktu 40 menit untuk mencapai panti di jarak 20 km dan saya bermotor, ini suatu hal yang pasti tidak X pikirkan padahal pesan pemberitahuan saya kepadanya sudah memuat informasi agenda saya. Saya benar-benar terburu-buru, eh, X mencegat saya, mukanya gembira karena sudah ujian, dia memberikan kotak makanan. Kotak makanan itu ada 3 yang saya tarok saja di atas meja. Saya tahu saya akan makan siang bersama penyintas narkoba siang itu. Ngapain X sibuk dengan sajen begini? Sekembalinya dari panti narkoba, 3 kotak saya buka sekilas, ternyata 2 adalah kotak snack, 1 kotak nasi. Sewaktu saya di panti narkoba, Ibu A berbagi rasa herannya tentang kotakan X. Saya belum konsen ke pesannya. Ketika melihat sendiri, astaga, ngapain snack saja sampai 2 kotak? Sorenya, saya ke pantry dan memberikan 3 kotak itu kepada dua kawan, petugas kebersihan.
Pembaca melihat zonk-nya di mana? Soal jadwal dan soal konsumsi. X sibuk dengan pemikirannya sendiri. Kami bersama-sama selama berbulan-bulan dan X belum mengenal saya? Soal perubahan jadwal itu pasti saya bicarakan dengan dua penguji lain. Saya senantiasa meningkatkan keakraban dan iklim respek antar kolega. Pembimbing utamanya ini dosen komunikasi yang menjiwai bidang kepakarannya. X bersama orang yang tepat, mustinya merasa aman, bukan tetap berkutat dengan rasa takut. Siapakah dari kita yang karena rasa takut maka jadi dapat menambahkan sehasta saja jalan hidup kita? Tak ada! Jadi, ngapain takut. Kenali rasa takut dan atasi!
Hari itu saya bagus memimpin ujian proposal X dan cemerlang menyampaikan materi di depan penyintas narkoba, ditutup dengan makan siang bersama mereka. Tetapi mahasiswa saya tak belajar apa-apa dalam hal pengembangan dirinya. Dua bulan kemudian, X menyampaikan laporan penelitiannya. Respons spontan saya adalah: hanya begini saja? Studi fenomenologi pada remaja perokok elektrik untuk menyingkapkan bagaimana mereka memaknai perilaku merokok elektrik, hanya menemukan hal-hal dangkal dan seolah-olah peneliti mendukung perilaku merokok elektrik! Atas komentar saya yang tajam itu, X menghilang dua minggu.
Lihat, apa saja dampak buruk menjadi orang dengan sikap mental yang lemah, di antaranya sulit klik dengan pembimbing. Saat ini X sedang kuatir karena saya belum merespons bilang iya tanda tangan laporan penelitiannya terkait saya cuti dan masuk tanggal 28 Desember. Coba X belajar bisa memeluk hati pembimbingnya agar sedia dan senang hati memeriksa naskahnya meskipun sedang cuti. Ini X fokus saja di risau, tak berubah dia mah, 28 Desember adalah deadline pengumpulan KTI. Dia kira dia berurusan dengan pembimbing KTI belaka, sulit dipahaminya pembimbingnya peduli padanya lebih dari sekadar KTI, melainkan pengembangan dirinya sebagai pribadi. Saya ingin dia bertransformasi menjadi pribadi kuat. Pribadi kuat mampu menyelesaikan urusannya secara mandiri, riang gembira, tak mendesak orang lain, dapat menangani stres hidup yang normal, dan berpartisipasi aktif di lingkungan sosialnya. Rasa kuatir di dasar hati harus diubah menjadi kasih dan rasa aman.
Bagaimana mengenali orang bermental lemah? Sangat mudah. Kata-kata dan sikap mereka sangat berbeda dengan orang kuat. Di dunia ini populasi orang lemah jauh lebih banyak daripada orang kuat. Saya tantang pembaca Quora, Anda di barisan yang mana?
0 $type={blogger}:
Post a Comment