![]() |
Seorang Gadis Bernama Sepina Di sebuah Kampung |
Di sebuah Kampung kecil yang penuh dengan kehidupan, hiduplah seorang gadis bernama Sepina. Sejak kecil, Sepina memiliki segudang mimpi yang ingin dicapai. Namun, semakin ia tumbuh dewasa, semakin banyak pilihan yang harus dihadapi, dan semakin jelas baginya bahwa ia tidak mengerti apa yang sebenarnya ia inginkan.
Setiap pagi, Sepina pergi ke sekolah dengan senyum di wajahnya. Teman-temannya tampak percaya diri, mereka tahu apa yang ingin mereka capai. Ada yang bercita-cita menjadi dokter, ada yang ingin menjadi seniman, dan ada pula yang merencanakan untuk kuliah di luar negeri. Namun, di dalam hati Sepina, bergejolak sebuah kebingungan.
Suatu hari, di akhir pelajaran seni, guru mereka menunjukkan beberapa karya seni dari berbagai seniman terkenal. "Karya-karya ini lahir dari keinginan dan keberanian untuk mengejar apa yang mereka cintai," ujarnya sembari memegang lukisan berwarna cerah.
Sepina menatap lukisan itu, merasa terpesona. Namun, saat teman-temannya bersemangat berdiskusi tentang bagaimana mereka ingin berkarya, Sepina justru terdiam. Ia merasa kosong, seolah ada sebuah jurang di antara dirinya dan passion yang mereka miliki. Apa yang sebenarnya ia inginkan?
Malam harinya, Sepina duduk di meja belajarnya dengan buku-buku terbuka di depan mata. Ia mencoba membuat daftar tentang apa yang ia sukai. Namun, hanya satu kata yang muncul di benaknya: "tidak tahu." Frustrasi mulai merayap dalam dirinya. Ia merasa terjebak dalam kebingungan yang tak berujung.
Hari itu pun berlalu, dan hari-hari berikutnya juga tak memberikan kejelasan. Sepina mulai menarik diri dari teman-temannya, merasa seperti orang asing di dunia yang seharusnya akrab baginya. Suatu sore, saat berjalan sendirian di taman, ia teringat akan hobi lamanya—menggambar. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil seperangkat alat menggambar dari rumah dan kembali ke taman itu.
Dengan setiap goresan pensil di atas kertas, Sepina merasakan sesuatu yang telah lama hilang. Sebuah ketenangan menyelimuti jiwanya. Ia menggambar segala hal yang ada di sekitarnya—pepohonan, langit, hingga senyuman anak-anak yang bermain. Dalam kesunyian dan kebebasan itu, ia mulai menyadari bahwa mungkin tidak perlu terburu-buru menemukan jawaban.
Hari demi hari, Sepina menghabiskan waktu di taman menggambar. Ia tidak lagi merasa tertekan untuk menemukan apa yang diinginkannya. Alih-alih, ia belajar menikmati prosesnya. Ia mulai menghadiri kelas seni di sekolah, berkenalan dengan teman-teman baru, dan merasa bahwa hidupnya memiliki warna yang dulu seakan hilang.
Seiring waktu, kebingungannya perlahan sirna. Sepina masih belum sepenuhnya tahu apa cita-citanya, tetapi ia sadar bahwa setiap langkah kecil menuju hal yang ia cinta adalah bagian dari perjalanan itu sendiri. Ia tidak lagi merasa terasing, dan dalam ketidakpastian, ada keindahan yang dapat ditemukan.
Ketika Sepina melangkah maju, ia mengingatkan dirinya
sendiri bahwa hidup adalah tentang eksplorasi. Ia mungkin tidak mengerti apa
yang sebenarnya diinginkannya saat ini, tetapi untuk pertama kalinya, ia
menerima kebimbangan itu. Dan dalam penerimaan itulah, Sepina menemukan kebahagiaan yang sederhana—menjadi
dirinya sendiri, tanpa harus mencari-cari jawaban yang tidak selalu harus ada.
0 Comments