KEHIDUPAN DALAM PILOSOPI LENGSA ESTETIKA.

Seorang anak laki-laki Berna Sepanya di Sebuah kampung yang Melodi Dalam Warna kehidupan 

Di sebuah Kampung kecil yang terletak di pinggir pegunungan, tinggal seorang pemuda bernama Sepanya Sejak kecil, Sepanya terpesona oleh suara alam di sekitarnya. Suara gemerisik dedaunan, aliran sungai, dan nyanyian burung saat pagi hari selalu berhasil menghanyutkan pikirannya. Ia percaya bahwa alam memiliki melodi yang kaya, dan ia ingin menggarapnya menjadi sebuah karya musik.

Suatu hari, di tengah kebun yang dikelilingi oleh pohon-pohon rindang, Sepanya memutuskan untuk mengumpulkan berbagai suara alam yang ada. Ia membawa alat musiknya, sebuah gitar tua yang diwariskan oleh kakeknya, dan berjalan menyusuri jalan setapak yang berkelok.

Langkah pertama membawanya ke tepi sungai, di mana suara aliran air terdengar jernih. Sepanya mulai memainkan petikan gitar, menyesuaikan nadanya dengan irama air yang mengalir. Ia merasakan betapa harmoninya petikan gitarnya menyatu dengan suara alam. Seakan alam menyanyikan lagu yang sama bersamanya.

Dari tepi sungai, Sepanya melanjutkan perjalanan menuju hutan. Di sana, suara burung berkicauan menjadi latar belakang yang menggembirakan. Dengan energik, ia menambahkan beberapa nada ceria ke dalam permainan gitarnya. Setiap kicauan burung membuatnya terinspirasi untuk menyusun melodi baru, seolah hewan-hewan kecil itu mengikuti setiap petiknya.

Di tengah perjalanan, Sepanya menemukan sebuah padang bunga yang penuh dengan warna-warni cerah. Ia terpesona melihat kupu-kupu berterbangan, menari di antara bunga-bunga. Sepanya berhenti sejenak dan teringat, bahwa setiap warna bunga memiliki maknanya sendiri. Ia pun mulai menggubah nada-nada yang lembut, seakan menciptakan simfoni untuk menghormati keindahan alam.

Saat matahari mulai terbenam, Sepanya menuju puncak bukit yang menghadap ke desa. Di sana, ia duduk dan memandang hamparan langit yang berubah menjadi warna oranye, merah, dan ungu. Suara angin berbisik lembut di telinganya. Dalam momen itu, Sepanya merasakan kedamaian yang mendalam. Ia mulai bermain gitar lagi, mengalunkan nada-nada yang tenang, menciptakan melodi yang bercerita tentang perjalanan hari itu—keindahan yang ia temui, suara yang ia dengar, dan warna yang ia saksikan.

Ketika malam tiba dan bintang-bintang mulai bermunculan, Sepanya merasakan bahwa ia telah menciptakan sesuatu yang spesial. Semua suara dan warna alam yang ia rekam dalam kenangan kini terjalin dalam sebuah melodi yang unik. Dengan penuh semangat, ia kembali ke desa dengan harapan untuk membagikan karyanya kepada penduduk desa.

Pada malam perayaan desa, Sepanya melangkah ke panggung kecil yang disiapkan. Ia melihat wajah-wajah penuh harapan dari penduduk desa yang ingin mendengar suaranya. Dengan percaya diri, ia mulai memainkan gitar dan menyanyikan melodi yang telah ia ciptakan, menggabungkan suara alam dengan perasaan yang ada di dalam hatinya.

Malam itu, ketenangan dan keindahan alam seolah hadir dalam setiap nada yang Sepanya lantunkan. Semua orang terdiam, menikmati keajaiban yang timbul dari kolaborasi antara manusia dan alam. Setiap suara, setiap petikan gitar, dan setiap lirih nyanyian membentuk sebuah narasi magis tentang harmoni yang selama ini tersembunyi.

Ketika lagu terakhir berakhir, tepuk tangan bergemuruh, dan Sepanya merasa bahwa ia telah menemukan tujuannya. Musik tidak hanya sekadar nada, tetapi juga tentang menangkap esensi dari alam dan mengungkapkannya. Di dalam berbagai warna yang ada, Sepanya menemukan makna yang lebih dalam—bahwa ada keindahan dalam kebersamaan antara manusia, alam, dan musik.

Sejak hari itu, Sepanya menjadi penggubah musik yang dikenal di seluruh Kampung. Ia terus menciptakan lagu-lagu yang menggambarkan keindahan alam, berharap agar anak-anak muda di desanya pun bisa merasakan dan menghayati harmoni yang ada di sekitar mereka. Dengan setiap melodi yang diciptakannya, Sepanya mengajak semua orang untuk terhubung kembali dengan alam dan menemukan keindahan dalam warna-warna yang ada.

Post a Comment

0 Comments